Berfikir lagi, menangis lagi, menyendu-nyendukan diri kembali. Terjebak di kebutaan hati. Terperosok tanpa arah tujuan di keheningan malam yang sunyi. Berselimutkan dinginnya angin malam yang seolah menusuk hingga relung hati. Butuh kehangatan dan cahaya pijaran meski setitik. Tapi? Bisakah aku menemukannya? Bahkan aku tak tahu kini ada dimana, sunyi, gelap, buta! Apa yang kau fikirkan, ha?
Masa bodoh kau mau fikirkan tentangku, tentangnya atau tentang sesuatu yang berbisik dari kejauhan memanggil-manggil syahdu namamu di kesunyian malam. Aku tak ingin kau fikirkan, bahkan kau rasakan. Karena aku bukanlah sebotol sambal yang bisa kau tuang, kau colek, kau makan dengan lahap. Itu bukan aku! Aku lebih berharga dari sebotol sambal bermerek abjad berurutan yang biasa kau santap! Persetan dengan kau yang menganggapku laiknya sebotol sambal.. Kau persetan!
Aku sombong, dan aku bahagia dengan kesombonganku.. Aku bangga aku menjadi emas diantara kotoran-kotoran sapi yang tercecer dihalaman rumah. Aku bangga menjadi berlian, berlian diantara kilauan-kilauan kaca-kaca perkotaan yang menyilaukan. Aku bangga menjadi biduan yang kalah audisi demi menjadi orang terkenal. Dan, aku bangga menjadi diriku sendiri.. Diriku yang rapuh, diriku yang tak berdaya, diriku yang lemah.. Ya, aku bangga! Itulah aku.
Aku bangga tersesat dalam kesunyian. Aku bangga terperosok dalam keheningan malam nan sunyi. Aku, aku, aku. Dan hanya ada aku disini, menanti songsongan matahari terbit dari ufuk timur. Matahari pertanda belum berakhirnya cintaku padanya. Karena, aku berjanji pada seorang pria akan mencintainya hingga fajar terbit dari ufuk barat. Kini kau tahu, aku berharap matahari tak pernah terbit dari barat. Matahari selalu pancarkan pesonanya tiap pagi dan menggantung tinggi dilangit bak sedang menyaingi kesombonganku sebagai wanita.
"Hey matahari! Apakah kau tahu apa yang membuatku lebih dari pada kau?"
"Aku bisa jelaskan padamu, duhai Mentari, Surya, Sun, Srengenge"
"Hahahaha.. Ya, aku memiliki segalanya.. Segala perasaan dalam hidupku! Aku sedih, senang, susah"
"Apakah kau bisa? Apakah kau mampu? Kau lebih lemah dariku, Mentari!"
"Aku bisa berdiri tegap dan tegar diatas kedua kakiku yang rapuh ini"
"Sedangkan kau, kau hanya bergantung pada langit! Bergantung pada atap-atap bumi ini!"
"Aku bisa bersedih dan tunjukkan pada dunia!"
"Sedangkan kau, kau bersedih.. Lalu awan berarak-arak mulai menutupimu.. Kau jaim sekali rupanya"
"Pembual"
"Penipu"
"Aku bangga menjadi diriku, diriku yang apa adanya"
"Tak seperti Mentari yang berkamuflase.. Bodoh!"
Aku berbicara padamu, pada hewan, pada tumbuhan, pada Matahari. Aku kuat. Aku tangguh. Hanya kau-kau saja yang bodoh yang mati dalam kesunyian. Mati dalam kegundahan dan binasa ditelan buto. Buto Ijo. Mengerikan, tragis. Tapi itu lah kau! Kau yang dalam ketidak mampuanmu. Aku sudah umumkan kemampuanku kencang-kencang lewat menara. Kau harusnya tak sekarat, tak mati, tak binasa, tak berubah menjadi tanah. Karena aku telah mengumumkannya pada kau.
Masa bodoh kau mau fikirkan tentangku, tentangnya atau tentang sesuatu yang berbisik dari kejauhan memanggil-manggil syahdu namamu di kesunyian malam. Aku tak ingin kau fikirkan, bahkan kau rasakan. Karena aku bukanlah sebotol sambal yang bisa kau tuang, kau colek, kau makan dengan lahap. Itu bukan aku! Aku lebih berharga dari sebotol sambal bermerek abjad berurutan yang biasa kau santap! Persetan dengan kau yang menganggapku laiknya sebotol sambal.. Kau persetan!
Aku sombong, dan aku bahagia dengan kesombonganku.. Aku bangga aku menjadi emas diantara kotoran-kotoran sapi yang tercecer dihalaman rumah. Aku bangga menjadi berlian, berlian diantara kilauan-kilauan kaca-kaca perkotaan yang menyilaukan. Aku bangga menjadi biduan yang kalah audisi demi menjadi orang terkenal. Dan, aku bangga menjadi diriku sendiri.. Diriku yang rapuh, diriku yang tak berdaya, diriku yang lemah.. Ya, aku bangga! Itulah aku.
Aku bangga tersesat dalam kesunyian. Aku bangga terperosok dalam keheningan malam nan sunyi. Aku, aku, aku. Dan hanya ada aku disini, menanti songsongan matahari terbit dari ufuk timur. Matahari pertanda belum berakhirnya cintaku padanya. Karena, aku berjanji pada seorang pria akan mencintainya hingga fajar terbit dari ufuk barat. Kini kau tahu, aku berharap matahari tak pernah terbit dari barat. Matahari selalu pancarkan pesonanya tiap pagi dan menggantung tinggi dilangit bak sedang menyaingi kesombonganku sebagai wanita.
"Hey matahari! Apakah kau tahu apa yang membuatku lebih dari pada kau?"
"Aku bisa jelaskan padamu, duhai Mentari, Surya, Sun, Srengenge"
"Hahahaha.. Ya, aku memiliki segalanya.. Segala perasaan dalam hidupku! Aku sedih, senang, susah"
"Apakah kau bisa? Apakah kau mampu? Kau lebih lemah dariku, Mentari!"
"Aku bisa berdiri tegap dan tegar diatas kedua kakiku yang rapuh ini"
"Sedangkan kau, kau hanya bergantung pada langit! Bergantung pada atap-atap bumi ini!"
"Aku bisa bersedih dan tunjukkan pada dunia!"
"Sedangkan kau, kau bersedih.. Lalu awan berarak-arak mulai menutupimu.. Kau jaim sekali rupanya"
"Pembual"
"Penipu"
"Aku bangga menjadi diriku, diriku yang apa adanya"
"Tak seperti Mentari yang berkamuflase.. Bodoh!"
Aku berbicara padamu, pada hewan, pada tumbuhan, pada Matahari. Aku kuat. Aku tangguh. Hanya kau-kau saja yang bodoh yang mati dalam kesunyian. Mati dalam kegundahan dan binasa ditelan buto. Buto Ijo. Mengerikan, tragis. Tapi itu lah kau! Kau yang dalam ketidak mampuanmu. Aku sudah umumkan kemampuanku kencang-kencang lewat menara. Kau harusnya tak sekarat, tak mati, tak binasa, tak berubah menjadi tanah. Karena aku telah mengumumkannya pada kau.
Komentar
Posting Komentar