Langsung ke konten utama

Papan Kelas X A #1


Ketika aku menulis cerita ini. Cerita yang mungkin beberapa bagiannya sudah terlupakan. Ya, karena memang cerita ini cerita beberapa tahun yang lalu, kira-kira hampir delapan tahun yang lalu. Sewindu. Bukan lagu Tulus, penyanyi kenamaan Indonesia.
Sewindu itu berarti sudah 96 bulan, atau kurang lebih 2.920 hari, kalau pake hitungan 365 hari dalam setahun. Cukup lama juga, ya? Hehehe. Tapi nggak selama masa kekuasaan Sobhuza II, Raja Swaziland, sih. 

Sewindu yang lalu, tepatnya tahun 2010, waktu lagu Justin Bieber yang judulnya "One Time" jadi hit di kalangan remaja, ya salah satunya aku. Jujur, dulu aku pernah membuat video cover dari lagu ini di ruang kelas X A, lip sync sih sebenarnya. Sampai sekarang masih kusimpan file nya di hard disk yang aku ambil dari laptop pertamaku merk Lenovo yang aku sudah lupa serinya, yang jelas bentuknya masih bulky tapi sudah lumayan high end di zamannya. Sudah, lupakan kegiatan cover meng cover ini. Lucu sekali lah kalau benar-benar dijelaskan, dan justru jatuhnya aku akan menyebarkan aibku sendiri hahaha.

Ngomong-ngomong soal ruang kelas X A, tempat aku membuat cover tadi, aku jadi ingat betapa ruang kelas ini salah satu ruang yang selalu ingat, selain ruang rindu. Letto kali, ya. Bagaimana tidak, ini ruang kelas pertama aku di bangku SMA, kelas ini dihuni oleh manusia-manusia bervisi dan misi menjadi pengembang ciptaan James Watt, Alexander Graham Bell dan Thomas Alva Edison. Oh ya hampir lupa, ada beberapa anak, tidak banyak, sih, cuma dua atau tiga anak yang bervisi dan misi lain, ingin meneruskan semangat Maya Angelou atau Frank Sinatra. Salah satu dari mereka adalah aku. Iya, aku. Aku yang selalu pakai sepatu hitam ke sekolah dengan merk Tomkins, tas laptop anti air bermerk Eksport, mungkin pengen nulis Export tapi dalam kearifan lokal--boleh. Oh ya, dulu waktu itu aku juga (hanya) berbobot 45 kilogram, cukup. Informasi yang sangat penting untuk masa depan, bukan?

Kembali lagi ke isi ruangan kelas X A, karena pengenalan denganku lebih baik dilakukan secara langsung, sambil nyeruput kopi tanpa gula. Kelas ini berada di lantai dua gedung baru sekolahku. Seperti labelnya, baru, kelas ini masih bau cat hehe. Bukan, bukan bau cat yang jadi penting disini. Tapi fasilitas di kelas ini yang cukup bikin aku senang karena aku tidak menemukannya di sekolah lamaku di daerah Sleman. Ada proyektor dan layarnya, dua buah pendingin ruangan, sebuah kipas angin COSMOS pula, dan satu unit komputer. Biasanya, jika tidak ada guru, fasilitas-fasilitas itu digunakan oleh penghuni ruangan kelas X A. Ya bisa saja menonton film, bokep, video klip dan sebagainya. Lebih banyak mudharat daripada manfaatnya. Mumpung. Lalu, kelas ini juga berisi banyak kenanganku dengan guru, terutama dengan guru Matematika. Yang mana juga sebagai wali kelasku. Namanya Bu Eve.

Bu Eve ini salah satu guru yang menyadarkanku, akhir-akhir ini, betapa menghargai orang lain, terutama guru itu sangat penting. Aku sadar begini karena sepertinya semesta dan Tuhan mencoba aku untuk menjadi di posisi Bu Eve. Bukan, bukan guru Matematika, aku masih payah soal Matematika. Tapi guru Bahasa. Iya, aku sekarang berprofesi jadi guru Bahasa. Profesi yang tidak pernah aku pikirkan setidaknya beberapa tahun ke belakang. 

Bu Eve ini guru yang aku bisa bilang tegas dan baik karena mau memberikan kesempatan kedua ketiga keempat dan seterusnya untuk murid biar bisa lebih baik. Jujur saja, opini ini aku buat ketika masa sekarang, bukan zaman dulu. Dulu, persepsiku terhadap beliau tidak ada baik-baiknya. Semuanya hancur, jahat dan cenderung fitnah. Sebutkan saja sifat-sifat manusia yang dibenci: 1) Pelit, 2) Bengis, 3) Pokoknya aku tidak suka, 4) Pokoknya sampai kapanpun aku benci beliau karena memberiku nilai merah. Waktu itu memang aku belum paham konsep setiap orang pasti punya sisi baik, eh sebenarnya aku sekarang pun sedang dan masih mengusahakan konsep itu, sih. 

Pernah, kalau tidak salah, kalau salah yasudah kamu juga tidak tahu ini benar atau tidak, kan?, setelah ulangan harian aku dipanggil beliau di depan kelas. Aku pikir aku akan diberi hadiah, paling tidak uang dua ribu untuk beli marling pedas di kantin sekolah. Ternyata, beliau menyiapkan hadiah yang lebih pedas levelnya, jauh pastinya, dari marling pedas favoritku itu. Tidak berwujud benda, sih. Tapi kata-kata. Dibilang benda juga bukan, karena kata-kata itu abstract noun. Beliau berkata:

"Aurel, kamu bagaimana kok bisa dapat nilai segini?", kata beliau dengan suaranya yang sekilas bernada Soeharto.
"Kemarin nggak belajar, Bu.. Hehehe", jawabku, yang sebeneranya bodoh dan cukup dibatin aja.
"Nggak belajar, nggak belajar, gimana sih? Yaudah, nanti kamu pulang sekolah ke meja Ibu di ruang guru!", kata beliau lagi dengan nada yang semakin menanjak.

Aku cuma bisa diam. Mau dibales, tapi bingung mau bales apa. Mau tidak, tapi rasanya darahku sudah terlanjur naik. Dalam hati, hanya kata-kata sumpah serapah yang keluar dan terpikirkan. Betapa emosionalnya. Eh, sekarang masih, hanya sudah lebih banyak terkontrol. 

Lalu, aku kembali ke tempat dudukku yang berada di barisan kedua dari belakang. Sepanjang perjalananku dari meja guru ke tempat dudukku, rasanya lama sekali. Selama jarak tempuh bumi menuju Mars. Dengan tambahan pertanyaan dari teman-temanku sang penerus Thomas Alva Edison dan James Watt itu. Petanyaannya sama, "Eh dapet berapa, dapet berapa?". Rasanya ingin ku banjiri sekolah ini dengan air mata yang sudah di ujung. Ini bukan urusan mereka, apalagi nilaiku yang merah. Makin bukan urusan mereka. Ini urusanku sendiri dan mereka tidak pantas untuk membuat ini jadi urusan mereka. 

Singkat cerita, bel sekolah berbunyi, tanda sekolah berakhir. Maaf maaf, bel sekolahku bukan berbunyi lonceng atau kenthongan. Tapi, mirip seperti rekaman "Sari Roti" atau "Campina" nya mamang-mamang, tapi dengan tempo yang lebih cepat. Lalu, seketika aku ingat aku punya janji bertemu Bu Eve di ruang guru. Cepat-cepat aku menuju ke ruang guru dan mencari meja beliau. Maklum masih mencari, karena aku bukan tipe siswa yang rajin menemui guru di ruangnya untuk diskusi soal akademik. Jadi, ya aku tidak hafal. 

Kutemukan akhirnya meja beliau. Petunjuknya dari buku pelajaran yang beliau selalu promosikan untuk dibeli. Mudah, karena buku itu hanya satu-satunya buku yang, konon katanya, dikhususkan untuk kelas X A karena ekspektasi terhadap kelas kami yang tinggi. "Wah ini pasti mejanya dia", kataku dengan percaya diri.Tidak lama kemudian, Bu Eve datang dengan membawa amplop airmail yang selanjutnya aku tahu isinya adalah soal perbaikan Matematika. 

"Udah lama, Rel?"
"Oh baru (sampai) kok, Bu"
"Sekarang duduk, terus siapin coret-coretan dan alat tulis"

Sembari menyiapkan apa yang diperintahkan, aku rasanya ingin menyumpah dan berkata kasar. Iya, karena aku kaget seketika intuisiku bilang kalau ini tes remidi dadakan. "Mati lah, koe Rel!", ucapku dalam hati.

"Nah, sekarang ini ada tes remidi buatmu. Dikerjakan, waktunya satu jam!"
Dalam hati aku berkata "Sial memang hari ini, udah dapet nilai merah, remidi dadakan pula. Shit!". 

Dalam mengerjakan, rasanya kesal dan benci. Campur aduk saja lah pokoknya. Rasanya lebih absurd dari pepaya yang sudah terlalu matang. Benci rasanya. Pokoknya hanya benci, benci dan benci. Sampai dalam hati bersumpah bak jagoan "Pokonya aku wegah dadi Guru. Amit-amit!". Eh, ternyata malah jadi guru hehehe.

Sejam berlalu, aku pun tidak menjawab semua pertanyaan. Paling hanya kisaran 60% dari jumlah soal yang bisa kujawab. Dengan catatan: itu saja entah benar atau salah, aku juga tidak ada garansi. Yang penting saat itu aku mengikuti apa yang diinginkan beliau. Sekedar menggugurkan kewajiban. Maaf, ya.

Kalau diingat-ingat masa itu, kini, aku merasa menjadi seorang pendosa yang ulung. Bagaimana tidak, orang yang meluangkan paling tidak 30an tahun untuk menjadi seorang pendidik bertitel PNS itu saja aku maki dan aku bantah. Jika dosa benar-benar bisa dilarung, aku rela pergi ke laut lepas untuk melarungnya. Meski aku tahu aku tidak bisa berenang, sama sekali. Mungkin aku akan hanyut saja. Untuk kemungkinan setelahnya, kuserahkan pada Ilahi.Namun, sayangnya dosa hanya bisa dihapus dengan bertakwa pada Tuhan.

Tapi kenangan semacam itu lah yang selalu bergema ketika aku sendiri, bernostalgia dengan diriku yang lalu. Kini aku jadi guru. Ya, jam terbang masih sangat jauh dengan beliau, Bu Eve, sih. Tapi satu hal yang pasti, kenangan bersama Bu Eve, dan guru-guru lain, tapi khususnya Bu Eve di ruang kelas X A, jadi cermin untukku. Cermin untuk bersabar kalau harus mengajar murid yang seperti aku di masa lalu, cermin untuk tidak semena-mena bersumpah: tapi asli, sumpahku tidak menjadi guru di masa lalu aku menyesal, menyesal karena ternyata jadi guru itu lebih banyak nikmatnya, dan cermin untuk mengingatkan betapa pentingnya menghormati orang, meski aku tidak suka orang itu sedikitpun.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Untuk Suamiku, Kalau Ada

Pertama-tama puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Segala yang sudah memberikan takdir aku bisa membangun rumah tangga denganmu. Kedua, untuk orang tuaku karena sebelum aku denganmu, semuanya ditanggung mereka. Untuk orang tuamu juga: terima kasih untuk mereka karena telah melahirkan orang yang akhirnya bisa diajak berjuang bersama untuk bertahan di sisa usiaku. Lalu, aku juga berterima kasih kepadamu, yang kini aku panggil suami. Karena sudi aku panggil suami. Hehehe, tidak juga. Lebih dari itu, karena sudah sudi menanggung aku. Semoga aku tidak memberatkan hidupmu di dunia dan akhirat. Semoga. Ada beberapa hal yang mungkin baiknya kamu tahu. Oh, ya sebelumnya, aku tidak tahu kamu akan membaca ini kapan. Semoga tidak kapan-kapan, karena kapan-kapan kemungkinan besar akan menjadi tidak pernah. Jadi, secara umum yang akan aku sampaikan ini berlaku sejak kamu mengucapkan akad untuk meminangku, bukan setelah kamu baca catatan ini. Sebuah disclaimer . Suamiku, aku yakin kamu sekar...

Avril Lavigne - Wish You Were Here

Avril Lavigne - Wish You Were Here [Verse 1:] I can be tough I can be strong But with you It's not like that at all There's a girl That gives a shit Behind this wall You just walked through it [Pre-Chorus:] And I remember all those crazy things you said You left them running through my head You're always there, you're everywhere But right now I wish you were here. All those crazy things we did Didn't think about it, just went with it You're always there, you're everywhere But right now I wish you were here [Chorus:] Damn, Damn, Damn, What I'd do to have you Here, here, here I wish you were here. Damn, Damn, Damn What I'd do to have you Near, near, near I wish you were here. [Verse 2:] I love The way you are It's who I am Don't have to try hard We always say Say it like it is And the truth Is that I really mi-I-iss [Pre-Chorus:] All those crazy things you said (things you said) You left them running through my head (through my head) You...

I Miss You, Mbah Kakung...

When I was child, my grandfather used to 'mangku' his grandchild, especially me ^^) Last night, I dreamed about my grandfather. He came into my dream and asked me, "Nduk Auk (my Javanese's nick name) are you in a relationship with an army?". Then I said, "Yes, Mbah (grandfather in Javanese language), I have a relationship with an army.'' and then he answered,"I know it, but you have to be patient to face everything. Don't think if something that you will decide is a good thing! Nduk, I just want you to be brave to face everything, because this is life that you have to feel! Remember, he is an army. He has to serve the motherland, not just thinking about you here. I know if it's not an easy thing to take, but I believe someday you'll stand beside him and see how proudly you're.. Just be patient" I was so happy because I met him through my dream. I was also happy because he gave me some advice that made me felt like I...