Apa yang kamu pikirkan ketika mendengar frasa "Anak Tunggal"? Coba aku tebak, mungkin kamu akan berfikir bahwa anak tunggal itu dimanja,dan serba diperhatikan oleh orang tua. Prediksi kalian benar. Semuanya benar, tidak ada yang salah satu pun.
Aku, sebagai anak tunggal atau sebenarnya lebih nyaman dipanggil anak bungsu dari satu bersaudara, setuju jika anak tunggal itu dimanja. Karena aku tahu pada hakikatnya dimanja orang tua itu adalah hak dari semua anak di seluruh belahan bumi, sebutkan saja Amerika, Indonesia, Zimbabwe, atau negara api di Film Avatar atau nun jauh disana Konohagakure. Anak bungsu dari satu bersaudara adalah salah satu kategori jenis anak menurut kuantitas. Jadi, anak bungsu dari satu bersaudara juga berhak untuk dimanja. Tidak bedanya dengan jenis-jenis anak yang lain menurut kuantitas, anak sulung dari empat puluh bersaudara misalnya. Sebentar, tiba-tiba pikiranku melayang bagaimana rasanya (orang tua) itu membuat melahirkan dan mendidik dan membiayai sejumlah anak itu. Ah, sudahlah membayangkan diriku sendiri saja aku kadang tak mampu.
Dimanja, yang diambil dari kata manja menurut KBBI adalah "tidak pernah ditegur, dituruti semua kehendaknya dan sebagainya". Dari artinya saja kita bisa melihat bahwa anak bungsu dari satu bersaudara dan jenis-jenis anak lainnya juga pernah merasakan rasanya dimanja. Coba, kita berusaha kembali ke usia 0 sampai paling tidak 2 tahun. Kapan orang tua kita tidak memanjakan kita? Selama 2 tahun, si Ibu mungkin tercatat tidak pernah menegur kita ketika kita ngompol dan berak di celana. Si Ibu malah langsung membersihkannya, bukan berkata "Hey, anak! Kamu ini ngompol dan berak di celana. Cepat bersihkan! Kalau tidak nanti Ibu tidak kasih kamu job uang rokok jajan!". Jelaslah begitu. Jawaban apa yang diharapkan dari kita, sih? Paling-paling jawaban kita "Waw waw waw", "Oek oek oek", atau tanpa jawaban dengan ekspresi yang nihil bin bingung. Lalu, ayah kita. Ayah kita juga selalu menuruti semua kehendak kita. Tidak pernah tidak. Coba kamu pikirkan, ketika kita minta seekor seorang adik, ayah pasti akan menuruti kemauan kita kan? Pasti akan dengan yakin dan sungguh-sungguh ayah akan memekik "Siaaapp!" sambil berkelakar dengan si Ibu untuk membantunya menuruti kemauanmu.
Lalu, masalah diperhatikan oleh orang tua. Rasa diperhatikan merupakan salah satu kategori di Hak Asasi Manusia. Jangan salah, HAM itu sendiri juga sudah dijamin oleh UUD 1945 tepatnya di pasal 28H, yang lengkapnya kamu bisa cari sendiri. Tapi intinya, pasal ini menunjukkan adanya hak manusia untuk hidup sejahtera lahir dan batin, mendapat kemudahan demi keadilan. Jadi, kalau orang tuamu sudah memberikan rasa ini, selamat! Mereka sudah kooperatif untuk taat konstitusi. Jika belum, coba datang ke Kopi Joni di Kelapa Gading Jakarta Utara setiap pagi. Tentunya untuk bertemu Bang Hotman Paris Hutapea dan mendapatkan kabar hukum secara cuma-cuma hehehe. Sekedar saran.
Tapi, tunggu dulu..
Anak bungsu dari satu bersaudara juga merasakan hal lain yang tidak disebutkan sebelumnya. Pertama, karena kamu hanya satu-satunya, maka tidak akan ada kakak ataupun adik. Sebenarnya ada enaknya juga hidup dalam kondisi seperti itu. Iya, karena kamu tidak akan mengenal yang namanya bertengkar dengan kakak atau adik. Hidupmu akan lebih tenang tanpa harus bertengkar dengan mereka yang akhirnya pasti berdamai. Lalu, buat apa bertengkar ya kalau akhirnya damai? Selain itu, kamu tidak akan pusing dikekang oleh kakakmu atau disalahkan terus oleh adikmu. Memuakkan. Seperti tidak ada kegiatan bermanfaat lain saja!
Tapi...
Ada pula tidak enaknya. Tidak enaknya yang pertama kamu tidak akan merasakan bertengkar dengan kakak atau adik. Tidak akan merasa hal ini adalah buah simalakama. Betengkar dengan kakak atau adik mengajarkanmu bagaimana caranya memilih: memilih untuk melawan dan bertahan atau diam dan mengalah. Kedua pilihan itu memang membuat kamu akan serba salah, bak buah simalakama. Lalu di hari-hari selanjutnya, kamu akan merasa ogah untuk bertengkar karena perasaan merasa bersalah itu menyiksa! Yang selanjutnya adalah kamu akan merasa dikekang oleh kakakmu atau selalu menjadi sumber aduan kepada Ibu dan Ayahmu karena adikmu. Kalau punya kakak, mau dia punya gender yang sama atau berbeda denganmu, kamu pasti akan merasakan betapa posesif nya ia. "Dek, pulang! Jangan keluyuran terus!", "Dek, kamu harus bisa sukses seperti kakak!", "Dek, kamu bantu aku dong! Jangan diam saja! Kamu kira anak Ibu dan Ayah cuma aku?" atau lainnya. Tapi rasa posesif itu kadang bisa juga dimanfaatkan. Ketika kamu terdesak, kamu bisa merengek ke kakakmu supaya kamu bisa dibela atau dibelikan sesuatu. Kamu juga akan disalahkan terus oleh adikmu. Kamu salah sedikit, pasti adik mencari celah untuk mencelamu. "Kakak ini memang tidak bisa jadi teladan!". Ya, kamu tidak perlu sih jadi teladan sebenarnya, cukup SMA di seberang Asri Medical Center Jogja saja. Tapi dari disalah-salahkan melulu kamu akhirnya bisa menemukan jawaban yang benar biar tidak disalah-salahkan melulu.
Ya, begitulah dinamika menjadi sebuah jenis anak: anak bungsu dari satu bersaudara. Jika ditanya aku masih ingin adik atau tidak, aku akan lantang menjawab "Tidak!" kalau perlu aku pinjam TOA masjid jami' untuk bicara "Aku tidak mau dan tidak mungkin punya adik!" lalu "Aku nyaman menjadi anak bungsu dari satu bersaudara!". Bukan karena mau melawan takdir Ilahi. Cuma kata-kataku tadi berdasar dari orang tuaku. Kini orang tuaku keduanya memasuki kepala lima. Secara hormonal, kemungkinannya hanya 0,000000004 persen dari 100%. Jadi, biar aku saja besok punya kakak dan adik untuk anakku. Itu pun jika Tuhan menghendaki. Biar aku pun tahu rasanya membuat banyak anak bercengkrama dengan anak yang tidak sekedar bungsu dari satu bersaudara. Sekian!
Komentar
Posting Komentar