Pernah ngalamin nggak sih dicap orang yang kita kenal sebagai anak baper? "Woyy, baperan!", "Dasar manusia baper!", "Idih gitu doang baper!" dan semacamnya. Mungkin sebagian besar orang pernah ya. Aku pun juga gitu. Banyak orang terdekatku yang menganggap aku baperan. Misal, waktu berusaha deket sama lawan jenis. Namanya juga usaha, semua orang pasti akan nglewatin masa-masa PDKT (Pendekatan) sama orang yang menurut kita menarik kan? Agak mustahil kayaknya kalo hubungan percintaan nggak didahului sama tahapan ini.
Nah, waktu masa-masa PDKT pasti kita dan orang yang deket sama kita akan berusaha ngasih perhatian, dalam kadar yang sebenernya subjektif: maksudku kadang kita ngasih perhatian yang biasa aja tapi orang yang deket sama kita nganggep yang lebih dan sebaliknya. Nah di sini nih letak potensi kita akan dicap sebagai "Baperan". Nih ya, kita cerita sama sahabat misalnya, trus sahabat kita nyeletuk "Eh, udah lah jangan baper! Baru disenyumin! Kalo ditembak kelar idup lo!". Kadang ada pedih-pedihnya gitu nggak sih dapet tamparan keras? Kalo aku pribadi iya.
Trus, yang paling sering terjadi apalagi kalo udah kumpul keluarga atau reunian, nggak jarang kita dapet body shaming dari statements sederhana kayak "Eh kamu gendutan banget lah sekarang!", "Ya ampun itu jerawat udah kayak ladang kacang, banyak bener keluarnya!", "Mukamu kenapa tuh kok bopeng kayak monster!" dan "Perempuan tu harusnya badannya bentuk kayak gitar Spanyol, nggak kayak kendi gini". Kalo aku, jujur aku sering mendapat body shaming, pastinya sedih lah dan jelasnya baper. Pernah kecewa sampe berlarut-larut karena kepikiran sendiri. Capeknya kayak disuruh trail running walaupun aku belum pernah ikut, cuma bayangin aja, udah capek.
Karena aku udah masuk di kategori usia "layak menikah" menurut pemerintah, nggak sedikit kalimat-kalimat yang aku dapet, entah untuk aku sendiri atau orang lain. Misal "Udah umur 23 tau, masak calon aja belum ada", "Mama dah pengen momong cucu lho ini", "Kerjaanmu kumpul-kumpul terus sama temen-temen, gak ada usaha buat cari pendamping po?", "Duh itu hamilmu dah 8 bulan tapi nggak keliatan ya, bayinya kecil kah?", "Anakmu kecil banget, dia sakit apa kok bisa gitu?", "Suamimu kerja di start up apa bisa biayain kamu dan keluargamu? Kayaknya project nya sepi deh", "Rumahmu masih ngikut mertua ya?", dan "Gajimu sebatas UMR bisa makan apa?". Kalo kalimat-kalimat tadi udah terlontar, aku cuma bisa huft dan reaksinya kecewa. Pengen nyanyi lagunya Bunga Citra Lestari aja pokoknya sambil nyidukin air kamar mandi.
Well, sebenernya aku nggak mau membela mereka-mereka yang dicap sebagai "Baperan" karena aku salah satunya. Nope. Aku pun juga nggak mau menyalahkan mereka yang ngecap mereka-mereka yang ngecap "Baperan". Duh ribet kalimatnya, Mbak. Karena "Baperan" bukan sebuah dosa dan kesalahan dan pula ngomentarin orang. Both are all okay. However, in my humble opinion, kadarnya harus jelas. Maksudku di sini, kita harus tau batasannya. Kita boleh aja "baperan" karena kita manusia, emang kodratnya punya rasa punya hati, jangan samakan dengan pisau belati (please jangan nyanyi). Perasaan satu orang ke yang lain itu beda: yang bikin beda adalah sensitivity nya. Misal aku, dengerin lagunya Rod Stewart yang I Don't Want to Talk About It aja udah bisa kesayat hatinya, kadang sampe nangis dan kamu nggak ngefek apa-apa. Ya gitu lah analoginya. Jangan disamakan tiap orang punya sensitivity yang sama. Kita boleh juga mengomentari orang, tapi, pelajari dulu orang itu kayak gimana. Apa orang itu siap kamu komentarin apa enggak. Kalau belum, tapi kamu berfikir kalo "I have the urge to say this" please try to choose the wisest words. Maybe you can offer him or her advice or suggestion... rather than judging or commenting their conditions.
Closing statement:
Does my writing tell you lots of bulls*it?
You can decide. This is just my point of view. Just so you know, I am still progressing to apply what I have written above too. Have a nice day :)
Komentar
Posting Komentar